Tuesday, May 15, 2007

Ijasah aka Certificate : does it still matter ?

Jakarta, 17 - 20 May 2007.
Its a Long masive public holiday.

tapi ...

Gue memutuskan untuk nggak ikutan what so called long masive public holiday itu. Dengan rajinnya gue tetep dateng tanggal 18 May ke kantor. Bukan karena gue kerajinan ya ... haree genee ... tapi dikarenakan rencana gue minggu depan untuk ambil cuti tanggal 28 dan 29 May. Yeah, me and my family have to fly to Jogja to attend my brother in law (baca: adiknya pipung) wedding ceremony. Selain itu memang gue punya beberapa action points yang hanya bisa diberesin ketika kantor bersuasana selayaknya di perpustakaan.



Jadilah gue meng-arrange hari tertenang di kantor untuk bisa melakukan sanity check kerjaan gue dengan salah seorang senior technical architect (baca: asistensi) dan juga makan siang dengan my best friend back in IBM. Temen dalam suka dan duka ngurusin project dengan goverment (bisa dibayangkan dong, pasti orangnya ramah, sabar dan tenang. nggak kaya gue :P)

My Senior TA kebetulan juga adalah salah seorang line manager di organisasi gue, yang notabene terlibat dalam proses seleksi para freshgraduate untuk menempati posisi Junior System Engineer. Ternyata seleksinya sangat super ketat. Selain harus lulusan universitas ternama dan IP di atas 3.00 , mereka juga harus lolos interview interpersona. Penilaian mengenai "mutu jiwa dan moral" seseorang (ini bahasa gue ya).

Ada beberapa kasus kandidat dengan IP diatas 3,5 tidak direkomendasikan untuk di-hire. Sesederhana karena, (1) dia terkesan malas, anak orang kaya, cocoknya bikin perusahaan daripada kerja dengan orang lain (2) Nerveous yang berlebihan, nggak tau apa kelebihan dia apalagi menjual kelebihan itu. yang menarik dari pembicaraan kita, ternyata ada kencenderungan lulusan dari universitas2 tertentu punya karakter yang seragam. Misalnya : ITB - pintar dan kreatif , UGM - pintar dan nurut , UI - pintar dan berotak bisnis.

Mungkin sekarang sedang marak2nya orang berpendapat bahwa IP tinggi dan lulusan dari universitas tertentu tidak menjamin keberhasilan seseorang dalam karir. Gue sih setuju dengan hal tersebut, tapi nggak setuju kalau statement itu diputarbalikan dengan "kalau gitu gak perlu punya IP tinggi dan gak usah berusaha dapet kursi di universitas ternama". Kalau loe percaya sama statement Itu berarti loe membodohi diri sendiri karena dunia ini begitu besar dan manusia semakin banyak, sementara kue keberhasilan tuh jumlah peningkatannya nggak significant.

Anyway, karena ijasan still does matter (terutama buat kita2 yang nggak cukup kreatif atau nggak cukup punya duwit untuk bikin usaha sendiri) ... ake udah mulai ngumpulin ijasah nih ... hahahaha ... Ijasah JUNIOR COOK dari Papa Ron's pizza Bellezza hasil field trip dengan Kinderland kemarin. Dulu, Ake juga udah pernah dapet Junior Pizza Maker certificate ketika ikut field trip di Papa Rons Bintaro bareng Amanda Montesorri School.

Well, ijasah ini nggak ada artinya. Tapi, mudah2an - InsyaAllah, menjadi semacam soft message supaya Ake tidak berpendapat bahwa berusaha keras untuk berprestasi di bidang akademik (baca: punya Ijasah) dan mengembangkan interpersonal yang baik (baca: bersikap positif) tuh nggak penting lagi di dunia yang makin terasa materialistis ini.

Amien ...

2 comments:

Unknown said...

ga perlu IP tinggi? gue amin in juga Ren, anyway ada satu temen gue (singaporean) yang bilang kalo arsitek yang punya perusahaan sendiri, hire arsitek yang pas kuliah nya IP tinggi soale dia ndiri sebagai director nya standar aja di kuliah nya...

well pada kenyataan nya ga juga seh, tapi gue kenal satu orang bule yang pas lulus nya cum laude, sekarang juga cuman kerja ama orang...

tapi kalo sekarang kan bukan cuman IQ kan yg jadi standar tapi EQ juga, malah kebanyakan orang yang sukses di karir nya kan terbukti EQ nya tinggi...

ada saran Ren buat naekin EQ anak2?

Sili Frebrian said...

waduh...ada pizza maker cilik. nanti tantenya kalo pulang harus dibikinin pizza ya....